Perjanjian lisensi merek adalah kontrak antara pemilik merek (licensor) dengan pihak lain (licensee) yang memberi hak kepada licensee untuk menggunakan merek tersebut dalam jangka waktu dan kondisi tertentu. Namun, meskipun sudah disepakati, terdapat kondisi di mana salah satu pihak dapat menuntut pembatalan perjanjian ini.
Prinsip itikad baik yang menjadi landasan berlakunya perjanjian lisensi merek tidak bisa menjamin bahwa perjanjian tersebut akan berlangsung secara aman dan lancar. Prinsip Pacta Sunt Servanda yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dengan tegas menyatakan bahwa, “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Prinsip itu mengamanatkan bahwa sebagai suatu persetujuan, perjanjian lisensi merupakan suatu aturan yang harus ditaati oleh para pihak yang membuatnya. Aturan itu bersifat memaksa, karena kalau tidak ditaati, akan menimbulkan sengketa hukum diantara para pihak. Hal itu dipertegas lagi dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yang menyatakan, “Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu”.
Prinsip bahwa persetujuan itu berlaku sebagai Undang-Undang bagi pembuatnya, kadangkala diabaikan oleh para pihak sehingga mengakibatkan kerugian pihak lainnya. Kesalahan itu terjadi karena kesengajaan yang dipicu oleh beberapa faktor. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan dengan kesengajaan tersebut membuat prinsip itikad baik yang diamanatkan oleh Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menjadi terabaikan. Ada beberapa hal yang menyebabkan persoalan dalam perjanjian lisensi merek terkenal. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, jika salah satu pihak memutuskan perjanjian ditengah jalan. Problem yang muncul berkaitan dengan keadaan ini adalah akan terjadi gugatan yang dilakukan oleh pihak lawan, karena pemutusan sepihak tersebut akan merugikannya, terutama jika keputusan sepihak tersebut dilakukan oleh pemberi lisensi. Beberapa kemungkinan yang bisa diajukan oleh pemberi lisensi untuk mengajukan pembatalan perjanjian lisensi secara sepihak misalnya:
- Penerima lisensi tidak membayar royalti sebagaimana yang diperjanjikan.
- Penerima lisensi memproduksi barang diluar jumlah yang diperjanjikan.
- Penerima lisensi memproduksi barang diluar wilayah yang ditentukan.
- Penerima lisensi terus memproduksi barang atau jasa meskipun kontrak lisensinya telah berakhir.
Sementara beberapa kemungkinan yang bisa dijadikan alasan bagi penerima lisensi untuk meminta pembatalan perjanjian lisensi misalnya:
- Pemberi lisensi secara sepihak menaikkan jumlah royalti yang telah disepakati bersama.
- Pemberi lisensi membatasi jumlah produk barang yang diproduksi oleh penerima lisensi.
- Pemberi lisensi membatasi wilayah berlakunya perjanjian lisensi.
Permasalahan kedua, jika di tengah perjalanan penerima lisensi menggunakan merek baru dengan tujuan untuk ekspansi usaha. Keberadaan merek baru yang digunakan pada produk barang yang sama, bisa mengurangi penjualan produk barang atau jasa yang menggunakan merek yang dilisensikan, sehingga merugikan pemberi lisensi.
Untuk mengatasi permasalahan itu, dalam perjanjian lisensi sebaiknya diperjanjikan juga mengenai boleh tidaknya penggunaan merek baru tersebut. Penggunaan merek baru memang sangat mungkin terjadi, sehingga harus diantisipasi oleh para pihak. Ada yang mengharuskan bahwa jika penerima lisensi akan menggunakan merek baru, perlu dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pemberi lisensi, hal itu supaya dapat diantisipasi oleh pemberi lisensi dalam kontrak lisensi yang akan dibuatnya. Semata-mata hal itu untuk melindungi kepentingan pemberi lisensi, karena sebagai pemilik merek, pemberi lisensi tidak mau dirugikan dengan tindakan penerima lisensi yang cenderung akan merugikannya. Pemakaian merek baru tersebut harus dikonsultasikan, dilakukan cek merek, dan disetujui oleh pemberi lisensi, karena sangat mungkin merek baru menjadi ancaman atau kompetitor merek yang dilisensikan.
Permasalahan ketiga yang juga mungkin terjadi adalah sengketa yang disebabkan karena mantan penerima lisensi memproduksi barang atau jasa dengan menggunakan merek lain, namun kualitasnya sama persis dengan kualitas merek yang pernah dilisensikannya. Kondisi itu akan membuat mantan pemberi lisensi selaku pemilik merek akan menderita kerugian, karena akan mengurangi jumlah penjualan produk barang atau jasanya. Pemilik merek akan mendapatkan kompetitor baru yang tidak lain itu merupakan mantan penerima lisensi mereknya. Untuk mengatasi kemungkinan seperti itu, sebaiknya dalam kontrak lisensi diperjanjikan bahwa setelah perjanjian lisensi berakhir, penerima lisensi tidak diperbolehkan lagi berusaha dibidang yang sama dengan pemilik merek.
Untuk meminimalkan risiko pembatalan perjanjian dan mengatasi potensi masalah, beberapa langkah pencegahan yang dapat diambil oleh kedua pihak yaitu, mencantumkan klausul pembatalan dalam perjanjian yang memuat alasan pembatalan, hak dan kewajiban para pihak, serta prosedur pembatalan. Proses ini juga melibatkan konsultan hukum untuk memastikan perjanjian tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dan sesuai dengan kebutuhan bisnis kedua pihak, menjaga hubungan baik dengan pihak lain, serta melakukan pemantauan berkala untuk memastikan kepatuhan terhadap perjanjian.
Pembatalan perjanjian lisensi merek merupakan hak sah yang dapat dilakukan jika terdapat alasan yang kuat. Namun, semua pihak perlu memahami implikasi dari tindakan tersebut, serta sebaiknya menyelesaikan masalah secara damai atau melalui arbitrase untuk meminimalkan potensi kerugian. Pembatalan perjanjian lisensi dapat diajukan apabila terjadi pelanggaran mendasar terhadap syarat dan ketentuan dalam perjanjian, seperti ketidakjujuran, wanprestasi, atau pelanggaran hak eksklusif yang diberikan. Penting untuk dipahami bahwa proses pembatalan lisensi dapat menimbulkan berbagai konsekuensi, termasuk tuntutan ganti rugi, kehilangan hak untuk menggunakan merek, serta potensi perselisihan hukum yang berkepanjangan.
Leave a Reply