Di tengah dinamika perekonomian Indonesia, perlindungan kekayaan intelektual (HKI) telah berevolusi dari sekadar formalitas hukum menjadi pilar strategis bagi keberhasilan bisnis. Sebuah studi kasus terbaru, yang menyoroti pentingnya strategi HKI secara gamblang, terjadi pada tahun 2025, melibatkan sengketa merek “DENZA” antara produsen otomotif internasional, BYD Company Limited, dengan entitas bisnis dalam negeri.
Melalui kasus ini, kita dapat melihat bahwa melakukan cek merek secara tepat waktu dapat membantu menghindari risiko serupa dan memperkuat posisi kompetitif di pasar yang sangat berpotensi.
Memahami Latar Belakang Sengketa
Untuk memahami akar permasalahannya, penting untuk melihat kronologi dan posisi masing-masing pihak.
- Pihak Internasional: BYD Company Limited, sebagai pemain kunci di industri kendaraan listrik global, memiliki merek DENZA yang lahir dari kolaborasi strategis dengan Mercedes-Benz. Kemitraan bergengsi ini memberikan bobot reputasi yang signifikan pada merek Denza di panggung dunia.
- Pihak Lokal: Jauh sebelum ekspansi masif BYD di Indonesia, PT Wilson Niaga Anugrah (WNA), sebuah perusahaan dari Sumatera Utara, telah mengambil langkah proaktif. Pada 11 Oktober 2017, mereka secara sah mendaftarkan merek “DENZA” di DJKI. Pendaftaran ini spesifik untuk Kelas Barang 12, namun untuk jenis produk yang berbeda, yaitu suku cadang kendaraan, bukan kendaraan utuh.
Konflik hukum baru dimulai pada tahun 2021, ketika BYD hendak mendaftarkan merek “DENZA” untuk produk mobil listriknya. Permohonan tersebut tidak dapat dilanjutkan oleh DJKI karena terbentur oleh eksistensi merek milik PT WNA yang sudah terdaftar lebih dahulu. Berpegang pada reputasi global mereknya, BYD kemudian memilih jalur litigasi dengan mengajukan gugatan pembatalan merek milik PT WNA.
Analisis Putusan Pengadilan: Sebuah Preseden Prosedural
Pada 28 April 2025, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengeluarkan putusan yang tidak terduga bagi banyak kalangan: gugatan BYD tidak dapat diterima. Yang menarik, putusan ini tidak didasarkan pada perdebatan mengenai siapa yang lebih berhak atau siapa yang lebih terkenal.
Fokus utama Majelis Hakim adalah pada aspek prosedural hukum acara. Terungkap bahwa selama proses hukum berlangsung, telah terjadi pengalihan hak atas merek “DENZA” dari PT WNA kepada pihak ketiga, yaitu PT Raden Reza Adi. Proses pengalihan ini telah dilakukan sesuai prosedur melalui akta notariil dan telah dicatatkan secara resmi di DJKI, sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Oleh karena itu, gugatan yang dilayangkan BYD kepada PT WNA dianggap tidak tepat sasaran (error in persona). Dalam hukum acara, sebuah gugatan harus ditujukan kepada pihak yang memiliki kapasitas hukum yang relevan dengan pokok sengketa. Karena PT WNA bukan lagi pemilik sah merek tersebut, pengadilan memutuskan untuk tidak melanjutkan pemeriksaan ke pokok perkara.
Tiga Wawasan Strategis untuk Bisnis Anda
Kasus ini menyajikan tiga pelajaran fundamental yang dapat diaplikasikan dalam strategi bisnis Anda:
- Prinsip First-to-File adalah Aturan Main Utama. Sistem first-to-file (pendaftar pertama) yang dianut Indonesia bertujuan memberikan kepastian hukum tertinggi. Berbeda dengan sistem first-to-use (pengguna pertama) di beberapa negara lain, di Indonesia, bukti penggunaan atau ketenaran merek tidak dapat mengalahkan sertifikat pendaftaran yang sah dari pihak yang mendaftar lebih dulu. Karena itu, melakukan cek merek sejak awal sangat penting agar tidak terjebak dalam sengketa. Kasus ini menjadi pengingat tegas bahwa menunggu hingga sebuah merek besar di pasar sebelum mendaftarkannya adalah strategi yang sangat rentan.
- Akurasi dan Ketelitian adalah Kunci Kemenangan Prosedural. Kekalahan BYD dalam kasus ini bukan karena argumen substantif yang lemah, melainkan karena kegagalan memenuhi syarat formil gugatan. Ini menggarisbawahi pentingnya due diligence sebelum mengambil tindakan hukum. Verifikasi status terakhir dari sebuah aset HKI, termasuk pengecekan data pengalihan hak di Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI), adalah langkah esensial untuk memastikan bahwa gugatan memiliki dasar yang kokoh secara prosedural.
- Memandang HKI sebagai Aset Bisnis yang Dinamis. Sama seperti properti fisik, merek dagang adalah aset yang dapat dialihkan, dilisensikan, atau dijadikan objek jaminan. Pengalihan hak dalam kasus ini menunjukkan bahwa pelaku bisnis harus memandang HKI bukan sebagai sertifikat statis, melainkan sebagai aset hidup yang memerlukan pengelolaan aktif. Pemantauan berkala terhadap status merek sendiri maupun kompetitor menjadi sangat penting untuk mengantisipasi perubahan yang dapat mempengaruhi strategi bisnis dan hukum.
Langkah ke Depan: Dari Reaktif Menjadi Proaktif
Kasus DENZA adalah cerminan dari lanskap HKI di Indonesia yang menuntut kewaspadaan dan strategi proaktif. Perlindungan aset intelektual bukan lagi sekadar urusan departemen legal, melainkan menjadi bagian integral dari strategi bisnis dan manajemen risiko. Melakukan langkah pencegahan seperti cek merek sejak awal akan membantu perusahaan menghindari sengketa dan memastikan kejelasan hukum atas identitas brand.
Di Kartini Djohan Consulting, kami percaya bahwa pendekatan terbaik terhadap HKI adalah pencegahan. Kami siap menjadi mitra strategis Anda untuk menavigasi kompleksitas hukum, memastikan aset Anda terlindungi sejak hari pertama, dan membantu Anda membangun fondasi yang kuat untuk pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan.
Untuk mendapatkan layanan yang sesuai dengan kebutuhan Anda, hubungi kami hari ini :
Email: hello@kartinidjohan.com
Phone: +62811-8242-588.

Leave a Reply